Perdagangan
atau jual-beli dalam bahasa arab
sering
disebut
dengan kata al-bai', al-tijarah, atau al-mubadalah. Sebagaimana firman Allah SWT :
Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi
(QS. Fathir : 29)
Secara bahasa, jual-beli atau
al-bai'u
berarti muqabalatu syai'im bi syai'in Artinya adalah menukar sesuatu dengan sesuatu. 1
Al-Imam An-Nawawi
di dalam Al-Majmu' Syarah Al- Muhadzdzab menyebutkan jual-beli adalah yang berarti : tukar menukar harta dengan harta
secara kepemilikan.2
Ibnu Qudamah
di dalam Al-Mughni menyebutkan bahwa jual-beli
sebagai yang artinya
pertukaran harta dengan harta dengan kepemilikan
dan penguasaan.3
Sehingga bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan
jual-beli
adalah : "menukar barang dengan barang atau menukar barang dengan uang, yaitu
dengan jalan melepaskan
hak kepemilikan
dari yang
satu
kepada yang
lain atas dasar saling merelakan".
Dasar Masyru'iyah
Jual-beli adalah aktifitas ekonomi yang hukumnya boleh
berdasarkan kitabullah dan sunnah rasul-Nya serta ijma' dari seluruh umat Islam. Firman Allah SWT :
Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan
telah mengharamkan
riba. (QS. Al-Baqarah : 275)
Sedangkan dari
sunnah nabawiyah, Rasulullah SAW bersabda :
Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullh saw bersabda: “Apabila dua orang melakukan jual-beli,
maka masing-masing orang mempunyai hak khiyar (memilih
antara membatalkan atau meneruskan
jual-beli) selama
mereka belum berpisah dan masih bersama; atau selama salah seorang di antara keduanya tidak menemukan
khiyar kepada yang
lainnya. Jika salah seorang menentukan
khiyar pada yang lain, lalu mereka berjual-beli atas dasar itu, maka jadilah jual-beli itu”. (HR. Muttafaq
alaih)
Dari Rifa’ah
Ibnu
Rafi’ r.a. bahwa Rasulullah saw.
pernah ditanya: Pekerjaan apakah yang paling baik?. Beliau bersabda: “Pekerjaan
seseorang dengan tangannya dan setiap jual-beli yang bersih”. (HR Al-
Bazzar.)4
Dari Abu Mas’ud al-Anshary r.a. bahwa Rasulullah saw. melarang
mengambil uang penjualan
anjing, uang pelacuran
dan upah pertenungan. (HR. Muttafaq Alaih)
Adanya
Penjual dan Pembeli
Penjual dan pembeli yang memenuhi
syarat adalah mereka yang telah memenuhi
ahliyah untuk boleh melakukan
transaksi muamalah. Dan ahliyah itu berupa keadan pelaku
yang harus berakal dan baligh.
Dengan rukun ini maka jual-beli tidak memenuhi
rukunnya
bila dilakukan oleh penjual atau pembeli
yang gila atau tidak waras. Demikian
juga bila salah satu dari mereka termasuk orang yang kurang akalnya (idiot).
Demikian juga jual-beli yang dilakukan oleh
anak kecil yang belum baligh
tidak sah,
kecuali bila
yang diperjual- belikan hanyalah benda-benda yang nilainya sangat kecil.
Namun bila
seizin
atau sepengetahuan orang
tuanya
atau
orang dewasa, jual-beli yang dilakukan oleh anak kecil hukumnya sah.
Sebagaimana dibolehkan jual-beli dengan bantuan anak
kecil sebagai
utusan,
tapi bukan sebagai penentu jual-beli. Misalnya, seorang ayah meminta anaknya untuk membelikan suatu benda di sebuah
toko, jual-beli itu sah karena pada dasarnya yang menjadi pembeli
adalah ayahnya. Sedangkan posisi anak saat itu hanyalah utusan atau suruhan saja.
Secara
asalnya, jua-beli itu merupakan
hal
yang hukumnya
mubah atau
dibolehkan. Sebagaimana ungkapan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah : dasarnya hukum
jual-beli itu
seluruhnya
adalah mubah, yaitu apabila dengan keridhaan dari
kedua-belah pihak. Kecuali apabila jual-beli itu dilarang oleh
Rasulullah SAW. Atau yang maknanya termasuk yang dilarang
beliau
SAW.
Rukun Jual-beli
Sebuah transaksi jual-beli membutuhkan adanya rukun sebagai penegaknya.
Dimana tanpa adanya rukun, maka jual- beli itu menjadi tidak sah hukumnya.
Rukunnya ada
tiga perkara, yaitu :
Adanya pelaku yaitu penjual dan pembeli yang memenuhi syarat
Adanya akad /
transaksi
Adanya barang / jasa yang diperjual-belikan.
Kita bahas satu persatu masing-masing rukun jual-beli untuk lebih dapat mendapatkan
gambaran yang jelas.
Adanya
Penjual dan Pembeli
Penjual dan pembeli yang memenuhi
syarat adalah mereka yang telah memenuhi
ahliyah untuk boleh melakukan
transaksi muamalah. Dan ahliyah itu berupa keadan pelaku
yang harus berakal dan baligh.
Dengan rukun ini maka jual-beli tidak memenuhi
rukunnya
bila dilakukan oleh penjual atau pembeli
yang gila atau tidak waras. Demikian
juga bila salah satu dari mereka termasuk orang yang kurang akalnya (idiot).
Demikian juga jual-beli yang dilakukan oleh
anak kecil yang belum baligh
tidak sah,
kecuali bila
yang diperjual- belikan hanyalah benda-benda yang nilainya sangat kecil.
Namun bila
seizin
atau sepengetahuan orang
tuanya
atau
orang dewasa, jual-beli yang dilakukan oleh anak kecil hukumnya sah.
Sebagaimana dibolehkan jual-beli dengan bantuan anak
kecil sebagai
utusan,
tapi bukan sebagai penentu jual-beli. Misalnya, seorang ayah meminta anaknya untuk membelikan suatu benda di sebuah
toko, jual-beli itu sah karena pada dasarnya yang menjadi pembeli
adalah ayahnya. Sedangkan posisi anak saat itu hanyalah utusan atau suruhan saja.
Adanya Akad
Penjual dan pembeli melakukan akad kesepakatan
untuk bertukar dalam jual-beli. Akad itu seperti : Aku jual barang ini
kepada anda dengan
harga Rp. 10.000", lalu pembeli menjawab,"Aku terima".
Sebagian ulama mengatakan bahwa akad itu harus dengan lafadz yang diucapkan.
Kecuali bila barang yang diperjual- belikan termasuk barang yang rendah nilainya.
Namun ulama lain membolehkan akad
jual-beli dengan
sistem mu'athaah, (هاطاعم) yaitu kesepakatan
antara penjual dan
pembeli untuk bertransaksi tanpa mengucapkan lafadz.
3. Adanya Barang / Jasa
Yang Diperjual-belikan
Rukun
yang ketiga adalah adanya barang atau jasa yang diperjual-belikan. Para ulama menetapkan bahwa barang yang diperjual-belikan
itu harus
memenuhi syarat tertentu
agar
boleh dilakukan akad.
Agar
jual-beli
menjadi
sah secara
syariah, maka
barang yang diperjual-belikan harus memenuhi
beberapa syarat, yaitu :
a. Suci
Benda yang diperjualbelikan harus benda yang suci dana
arti bukan
benda
najis
atau
mengandung najis. Di
antara
benda najis yang disepakati para ulama antara lain bangkai,
darah, daging babi, khamar, nanah, kotoran manusia,
kotoran
hewan6 dan lainnya.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :
Dari Jabir Ibnu Abdullah r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda di Mekkah
pada
tahun penaklukan kota itu: ”Sesungguhnya
Allah melarang jual-beli minuman keras, bangkai, babi, dan berhala”.
(HR. Muttafaq
Alaih)
Bank Darah
Darah yang dibutuhkan oleh pasien di rumah sakit tidak
boleh didapat
dari jual-beli. Karena itu Palang Merah Indonesia (PMI) telah menegaskan
bahwa bank darah yang mereka miliki bukan didapat dari membeli. Lembaga itu pun tidak melakukan penjualan darah untuk pasien.
Kalau ada pembayaran, bukan termasuk
kategori memperjual-belikan
darah, melainkan biaya untuk memproses pengumpulan darah dari para donor, penyimpanan,
pengemasan dan juga tentunya biaya-biaya lain yang
dibutuhkan. Namun secara akad, tidak terjadi jual-beli darah, karena hukumnya haram.
Kotoran Ternak
Demikian juga
dengan kotoran ternak yang
oleh umumnya ulama dikatakan najis, hukumnya tidak boleh
diperjual-belikan. Padahal kotoran itu
sangat berguna
bagi
para petani untuk menyuburkan tanah
mereka. Untuk itu
mereka
tidak melakukan jual-beli kotoran ternak. Kotoran itu
hanya diberikan saja bukan dengan akad
jual-beli.
Pihak petani hanya menanggung
biaya penampungan
kotoran, pengumpulan, pembersihan, pengangkutannya. Biaya untuk
semua itu bukan harga kotoran hewan, sehingga tidak
termasuk jual-beli.
b. Punya Manfaat
Yang dimaksud adalah barang harus punya manfaat secara umum
dan layak. Dan juga sebaliknya, barang itu tidak memberikan madharat atau sesuatu yang membahayakan
atau merugikan manusia.
Oleh karena itu para ulama As-Syafi'i menolak
jual-beli
hewan yang membahayakan
dan tidak memberi manfaat, seperti kalajengking, ular atau semut.
Demikian juga dengan singa, srigala, macan, burung gagak.
Mereka juga mengharamkan benda-benda yang disebut dengan alatul-lahwi (perangkat yang melalaikan) yang
memalingkan
orang dari zikrullah, seperti alat musik. Dengan
syarat bila setelah dirusak tidak bisa memberikan manfaat
apapun, maka jual-beli alat musik itu batil. Karena alat musik
itu
termasuk kategori benda yang tidak bermanfaat dalam
pandangan mereka. Dan tidak ada yang memanfatkan
alat musik kecuali ahli maksiat. Seperti tambur, seruling,
rebab dan lainnya.7
c. Dimiliki Oleh Penjualnya
7 Kifayatul Akhyar jilid 1 halaman 236
Tidak sah berjual-beli
dengan selain
pemilik langsung suatu benda, kecuali orang tersebut menjadi wali (al-wilayah)
atau
wakil.
Yang dimaksud
menjadi wali (al-wilayah) adalah bila benda itu dimiliki oleh seorang anak kecil, baik yatim
atau
bukan, maka walinya berhak untuk melakukan
transaksi atas benda
milik anak itu.
Sedangkan yang dimaksud
dengan wakil adalah seseorang
yang mendapat
mandat dari pemilik barang untuk menjualkannya kepada pihak
lain.
Dalam prakteknya, makelar bisa termasuk kelompok ini.
Demikian juga pemilik toko yang menjual barang secara konsinyasi,
dimana barang yang
ada di tokonya bukan miliknya,
maka posisinya adalah sebagai
wakil dari pemilik
barang.
Adapun transaksi dengan penjual yang bukan wali atau
wakil, maka transaksi itu batil, karena pada hakikatnya dia bukan pemilik barang yang berhak untuk menjual barang itu.
Dalilnya adalah sebagai berikut :
Tidak sah sebuah talak itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki
hak untuk mentalak.
Tidak sah sebuah pembebasan budak itu kecuali
dilakukan oleh yang memiliki hak untuk membebaskan. Tidak sah
sebuah penjualan itu kecuali
dilakukan oleh yang memiliki hak untuk menjual. Tidak sah sebuah penunaian nadzar itu kecuali dilakukan
oleh yang memiliki hak berkewajiban atasnya. (HR.
Tirmizi - Hadits
hasan)
Walau pun banyak yang mengkritik bahwa periwayaytan
hadits
ini lemah,
namun Imam
An-Nawawi mengatakan
bahwa hadits ini diriwayatkan lewat banyak jalur sehingga
derajatnya naik
dari
hasan menjadi hadits shahih.
Dalam pendapat qadimnya,
Al-Imam Asy-syafi'i
membolehkan
jual-beli yang dilakukan
oleh bukan pemiliknya,
tetapi hukumnya mauquf. Karena akan dikembalikan kepada persetujuan pemilik aslinya. Misalnya, sebuah akad jual-beli dilakukan oleh bukan pemilik asli, seperti wali atau wakil,
kemudian pemilik asli barang itu ternyata tidak setuju, maka jual-beli itu menjadi batal dengan sendirinya. Tapi bila setuju,
maka jual-beli itu sudah dianggap sah.
Dalilnya adalah hadits berikut ini :
'Urwah ra
berkata,"Rasulullah SAW memberi aku uang 1
Dinar untuk membeli
untuk beliau seekor kambing. Namun aku
belikan untuknya
2
ekor
kambing. Lalu salah satunya aku jual
dengan harga 1 Dinar. Lalu aku
menghadap Rasulullah SAW dengan seekor kambing dan uang 1 Dinar sambil aku ceritakan kisahku.
Beliau pun bersabda,"Semoga Allah memberkatimu dalam perjanjianmu".
(HR. Tirmizi
dengan sanad yang shahih).
d. Bisa Diserahkan
Menjual unta yang hilang termasuk akad yang tidak sah, karena
tidak jelas apakah
unta
masih bisa
ditemukan
atau tidak.
Demikian juga tidak sah menjual burung-burung
yang terbang di alam bebas yang tidak bisa diserahkan, baik secara pisik maupun secara hukum.
Demikian
juga ikan-ikan yang
berenang bebas di laut, tidak
sah
diperjual-belikan, kecuali
setelah ditangkap
atau
bisa dipastikan penyerahannya.
Para ahli fiqih di masa lalu mengatakan bahwa tidak sah menjual setengah
bagian dari pedang, karena tidak bisa
diserahkan kecuali dengan jalan merusak pedang itu.
e. Harus Diketahui Keadaannya
Barang yang tidak diketahui
keadaanya, tidak sah untuk
diperjual-belikan, kecuali setelah
kedua belah pihak
mengetahuinya.
Baik dari segi kuantitasnya maupun dari segi
kualitasnya.
Dari segi kualitasnya, barang itu
harus dilihat -meski hanya sample- oleh penjual dan pembeli sebelum akad jual-beli
dilakukan. Agar tidak membeli kucing dalam karung.
Dari segi kuantitas,
barang itu harus bisa dtetapkan
ukurannya.
Baik beratnya, atau
panjangnya, atau volumenya atau pun ukuran-ukuran lainnya yang dikenal di masanya.
Dalam jual-beli rumah, disyaratkan
agar pembeli melihat
dulu
kondisi rumah itu baik dari dalam maupun dari luar. Demikian pula
dengan
kendaraan bermotor, disyaratkan untuk
dilakukan peninjauan, baik berupa pengujian atau jaminan kesamaan dengan spesifikasi yang diberikan.
Di masa modern dan
dunia industri, umumnya barang yang dijual sudah dikemas dan disegel
sejak dari pabrik.
Tujuannya antara lain agar terjamin barang itu tidak rusak
dan dijamin keasliannya.
Cara ini tidak menghalangi
terpenuhinya syarat-syarat jual-beli. Sehingga
untuk mengetahui keadaan
suatu produk yang seperti ini bisa dipenuhi dengan beberapa tehnik, misalnya :
Dengan membuat daftar spesifikasi barang secara lengkap. Misalnya tertera di brosur atau kemasan tentang data-data
produk secara rinci. Seperti ukuran,
berat, fasilitas, daya, konsumsi listrik dan
lainnya.
Dengan membuka bungkus contoh barang yang bisa dilakukan demo atasnya, seperti umumnya sample barang.
Garansi yang memastikan
pembeli terpuaskan bila
mengalami masalah.
0 Response to "Pengertian Jual Beli"
Post a Comment